Curug Seribu adalah air terjun alam terbesar yang pernah saya kunjungi di dalam kawasan Taman Nasional Halimun-Salak, kabupaten Bogor. Namun demikian jalan ke sana adalah yang paling sulit serta paling terjal, dan lebih baik tidak pergi ke sana kecuali anda menikmati perjalanan fisik yang menantang dan benar-benar mencintai alam dalam bentuk aslinya.
Cabang jalan yang mengarah ke tempat parkir saja sudah demikian terjalnya, sehingga Pak Dayat, supir mobil, perlu menyetir dengan kehati-hatian yang lebih. Bagaimanapun, ini adalah salah satu pengalaman terbaik yang saya miliki selama menelusuri sudut-sudut negeri tercinta ini.
Pak Dayat memarkir mobil di depan sebuah warung yang terlihat sederhana, sekitar 500 meter dari areal parkir yang seharusnya, dikarenakan kondisi jalan yang sangat buruk. Seorang wanita paruh baya mengatakan dengan meyakinkan bahwa perjalanan ke Curug Seribu tidaklah begitu jauh, hanya membutuhkan setengah jam perjalanan saja.
Pengalaman bagaimana pun membuktikan agar kita tidak begitu saja percaya pada orang dusun mengenai jarak dan waktu tempuh, karena mereka cenderung selalu memberi potongan yang lumayan besar.

Sebagian dari ketinggian tebing yang mengarah ke dasar dari Curug Seribu. Pemandangannya sepanjang jalan ke Curug Seribu sangat alami dan indah. Selama beberapa menit berjalan melalui lintasan menurun berbatu, masih terasa agak ringan.
Sebatang pohon tumbang melintang di lintasan jalan yang memaksa kami merunduk untuk melewatinya. Dalam sepuluh menit pertama perjalanan ke Curug Seribu, kami berpapasan dengan sepasang anak muda yang tengah terengah-engah menata nafas sambil beristirahat dan terlihat seperti terkuras tenaganya.
Mereka membutuhkan waktu satu setengah jam untuk sampai ke Curug Seribu. Meskipun sedikit ragu, saya memutuskan meneruskan perjalanan. Semakin jauh kami melangkah lintasannya kadang naik namun kebanyakan turun. Turunan ke bawah semakin dalam dengan batu tidak beraturan terserak yang bisa sewaktu-waktu melukai kaki.
Kami berpapasan dua remaja lagi dengan paras muka kelelahan, dan mereka menceritakan hal sama tentang jarak dan medan ke Curug Seribu, namun saya sudah di sana dan harus melihat air terjunnya. Setelah 50 menit menempuh perjalanan, sampailah kami di air terjun kecil namun tinggi. Sayup-sayup suara gemuruh Curug Seribu sudah terdengar.

Setelah sekitar lima belas menit lagi berjalan kaki, kami akhirnya sampai di tepi tebing dengan pandangan langsung ke Curug Seribu. Kolam yang terbentuk di dasar Curug terlihat pada gambar di atas.
Air terjun terbesar Curug Seribu yang menebarkan butiran halus air ke segala arah, dan bisa membuat orang basah dalam radius 30 meter hanya dalam beberapa menit. Pemandangan alam Curug Seribu sungguh asli, tanpa terlihat barang atau fasilitas buatan manusia di sana.
Adalah keputusan yang tepat meminta Pak Dayat untuk ikut menemani, tidak saja untuk membawa tas kamera yang lumayan berat serta membawa payung panjang untuk berjaga-jaga jika hujan turun, namun juga sebagai teman dalam perjalanan yang lumayan panjang dan sepi di Curug Seribu ini.

Ada beberapa air terjun kecil di lokasi Curug Seribu ini, selain satu air terjun besar yang gemuruh suaranya bisa terdengar dari jauh. Saat itu adalah akhir musim kemarau, sehingga debit air bisa dua sampai tiga kali lipatnya di saat puncak musim penghujan, dan akan sangat berbahaya berada di sungai ketika terjadi hujan lebat.
Saya memutuskan untuk tidak turun ke dasar sungai, selain sudah terlalu capek secara fisik juga tak melihat ada jalan mudah untuk turun ke sana. Lagipula suasana sangat sepi dan hanya tinggal kami berdua yang berada di tempat itu. Kekhawatiran hujan akan turun juga ada.
Dalam perjalanan pulang dari Curug Seribu saya bertemu sepasang kekasih tengah berada di bebatuan di curug kecil yang terletak beberapa puluh meter sebelum Curug Seribu. Sang gadis menolak untuk berjalan lebih jauh lagi, sekalipun saya beritahu bahwa Curug Seribu sudah cukup dekat.
Di bawah ini video definisi tinggi yang diambil menggunakan kamera Canon 500D. Bunyi berisik yang terdengar adalah suara Curug Seribu.
Perjalan pulang dari Curug Seribu jelas jauh lebih berat. Beruntung, terpikir untuk menggunakan cara berjalan yang kemudian saya namakan jalan ala zombie, yaitu berjalan dengan langkah pendek dengan energi minimum, tanpa usaha yang berlebih ketika menaiki undakan, melangkah pelan ke depan dengan teratur tanpa beristirahat, dan menggunakan payung sebagai tongkat penunjang.
Dengan akal-akalan seperti itu, saya bisa sampai kembali ke warung dimana kami memarkir mobil dengan napas yang masih lumayan teratur. Bukannya mengomel, saya malah berterima kasih kepada ibu pemilik warung karena ‘berbohong’ tentang jarak, karena jika tidak maka saya mungkin tidak akan berani untuk pergi ke Curug Seribu.
CATATAN PENTING !!!
Jangan sekali-sekali mandi di Curug Seribu, sangat berbahaya, karena pusaran air yang sangat kuat.
Sumber : http://www.thearoengbinangproject.com/curug-seribu-bogor/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar